6.12.2008

Alam ku hancur

Saat ini alam mulai hancur
Hutan meradang

Tanah gersang
Sungai-sungai pun seperti enggan mengalirkan airnya

Gunung-gunung yang dulunya berdiri tegap
Kini seolah-olah lumpuh
Tak kuat menahan derita

Bumi kita memang sedang sakit
Isi perutnya terlalu dikuras tiada hentiBlockquote
Hingga yang tersisa

Hanyalah onggokan-onggokan sampah yang tak berguna
Alam ku yang malang

jiwanya telah hilang
Nyawanya mulai tercabut sampai ujung tenggorokan

Tapi ia selalu berharap

keajaiban akan datang

Membawa damai alam

Sejuk merona dalam keindahan

[+/-] Selengkapnya...

6.05.2008

Sertifikasi Guru ( Antara Harapan dan Ketidakpastian )

Masalah pendidikan selalu menjadi polemik dan perbincangan yang tidak habis-habisnya. Dari bawah sampai kalangan atas, pendidikan selalu menjadi buah bibir yang selalu panas bila diperdebatkan. Ada apa dengan dunia pendidikan Indonesia? Pertanyaan yang kerap terlontar dari benak kita semua, mungkin ketika menafsirkan bagaimana keadaan pendidikan di Indonesia, ada semacam Ide atau pun gagasan dalam pikiran kita untuk membenahi pendidikan di negeri ini. Banyak faktor yang menyebabkan kenapa pendidikan kita tidak berkembang sebagaimana mestinya, mulai dari sistem pendidikannya, sarana dan prasarana pendidikan sampai pada ujung tombak keberhasilan pendidikan, yaitu guru. Guru merupakan ujung tombak yang punya peran dan andil cukup besar untuk memajukan pendidikan, tapi apa yang didapatkan oleh seorang guru? Apakah harus cukup dengan titel pahlawan tanpa tanda jasa? Tentu kita ingat sosok seorang guru dengan sepeda kumbangnya, dialah Oemar Bakri. Sebuah pencitraan terhadap kehidupan guru-guru di Indonesia yang mencoba menampilkan realita sehingga muncul Image bahwa kehidupan guru itu sangat memprihatinkan, namun ketika semakin banyak orang yang memperjuangkan nasib para guru, pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan untuk merubah kehidupan guru itu sendiri. Sertifikasi guru, kebijakan yang menurut banyak orang kontrofersial, bukan karena persoalan sertifikasinya tetapi lebih kepada syarat-syarat dalam sertifikasi guru tersebut. Dilihat dari tujuannya, sertifikasi ini merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan kehidupan guru, dengan sertifikasi ini juga dapat terlihat sejauh mana kompetisi yang dimiliki oleh guru, belum lagi jika guru lulus sertifikasi, maka ia berhak mandapatkan dana tunjangan profesi yang jumlahnya dua kali lipat dari gajinya. Wow, sebuah kebijakan yang sangat bagus bila benar-benar terealisasi dengan baik. Yang menjadi pertanyaan saat ini apakah dengan sistem portofolio itu memang sesuai untuk uji sertifikasi? Permasalahan mendasar yang patut dipikirkan, disatu sisi pemerintah mencoba tanggap terhadap profesi para guru, tapi dilain hal sistem yang digunakan tidak sesuai untuk menunjang segala kebijakan yang diterapkan. Mamang ada segi positif dan negatif dari pelaksanaan sertifikasi guru itu sendiri, segi positifnya mungkin lebih mengarah kepada peningkatan ekonomi bagi para guru yang lulus sertifikasi, guru juga terpacu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar-seminar, lomba karya tulis dll. Sedangkan sisi negatifnya, serifikasi ini akan memberikan peluang kecemburuan sosial dan konflik horizontal antara guru yang lulus sertifikasi dengan guru yang tidak lulus sertifikasi, terkait masalah gaji yang diterima. Karena pada dasarnya penilaian menggunakan sistem portofolio dalam sertifikasi itu tidak bisa menjadi acuan bahwa guru yang lulus serifikasi itu adalah guru yang berprestasi. Kemudian, tidak hanya tingkatan atau level dalam sertifikasi dalam membuat guru itu stagnan dalam posisinya dan dikhawatirkan guru yang sudah lulus sertifikasi akan malas berkarya. Tak dapat dipungkiri, sertifikasi guru menimbulkan harapan yang begitu besar, harapan profesi guru memang pantas untuk dihargai dengan imbalan yang sesuai dengan jasa-jasanya, tetapi harapan itu terkesan seperti ketidak pastian tanpa ujung, mengingat ada beberapa hal yang sangat sulit dipenuhi. So, kita hanya bisa berharap dan terus berjuang agar guru menjadi profesi yang mendapat keadilan dan memperoleh imbalan yang sesuai dengan apa yang telah mereka sumbang untuk negeri tercinta ini.

[+/-] Selengkapnya...

Moral pendidikan

Pendidikan merupakan sarana yang sangat penting untuk membangun kepribadian dalam siri manusia. Pendidikan dalam hemat saya adalah usaha realistis untuk mencerdaskan manusia, dimana ada 3 hal penting yang menjadi sasarannya. Tiga sasarna yang hendak dicapai itu adalah serdas pikiran, serdas hati, dan cerdas tingkah laku. Ketiganya itu akan menjadi sangat penting apabila berhasil dipenuhi dalam pendidikan. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka akan terjadi ketimpangan, karena pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia. Manusia bukan semata-mata hidup sebagai adanya manusia, tapi manusia itu berkewajiban mewujudkan sifat kemanusiaannya dalam hal ini ternyata moral mempunyai sisi penting dan vital dalam konsep kehidupan bermasyarakat. Cerdas pikiran saja bukan menjadi jaminan bahwa seseorang itu akan dihargai oleh masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari atyau di lingkungan sekitar kita mungkin kita akan banyak menemui orang-orang yang berpendidikan tinggi tetapi tidak mempunyai etika moral yang baik. Lihat para pemimpin-pemimpin kita, para birokrat, dan para pejabat pemerintahan mereka adalah orang-orang yang terdidik serta mempunyai seabrek gelar dan sebagainya. Namun mereka melakukan penyelewengan dengan cara korupsi, kolusi dan nefotisme.
Ironis ketika kita melihat semua itu, ternyata pendidikan kita selama ini hanya mencetak orang-orang yang cerdas pikiran dan belum membina manusia yang cerdas hati dan cerdas tingkah laku. Proses pendidikan kita belum berhasil mewujudkan sifat-sifat kemanusiaan yang ada pada diri manusia itu senfiri. Pendidikan yang bertugas menjaga nilai-nilai luhur masyarakat telah kehilangan jati dirinya dan roh pendidikan sedikit demi sedikit mulai tercabut.
Memang tidak mudah bagi kita untuk merekontruksi pendidikan yang arah dan tujuannya sudah sangat bagus tetapi dalam aplikasinya di kehidupan masyarakat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kalau boleh ditafsirkan, pendidikan kita saat ini hanya mengajar kemampuan intelektualnya saja sedangkan ajaran-ajaran moral mulai dikesampingkan dan itu adalah fakta serta realita yang sesungguhnya di masyarakat.
Coba kita cermati dan renungkan, sekolah yang merupakan lembaga sosial dan bagian dari proses pendidikans serta sebagai proses pembudayaan fungsinya hanya untuk mencerdaskan kemampuan intelektual. Proses pendidikan yang ada ternyata membunuh kreatifitas dan menadikan manusia atau peserta didik sebagai robot yang sekedar menerima tranmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Peserta didik dijadikan subyek eksploitasi oleh kekuasaan diluar pendidikan, akibatnya seperti yang terjadi didalam masyarakat kita sekarang ini.
Dunia pendidikan kita memang sedang sakit dan sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menyembuhkannyasehingga kita bangkit dan kembali pada pendidikan sebagai proses humanisasi. Dengan demikian keinginan untuk membangun masyarakat yang demokratis, masyarakat yang terbuka, beradab dan toleran bisa tercapai.

[+/-] Selengkapnya...

Membangun Citra Islam

Dewasa ini, citra-citra negatif tentang Islam semakin mencuat, meski tidak dapat diterima oleh umat Islam, tetapi diakui atau tidak, citra-citra negatif tersebut memiliki realitas sosio-historis yang cukup nyata dalam penampakkan sejarah Islam secara kasar. Berbagai kekerasan yang kerap kali muncul dalam sejarah penyebaran Islam, ataupun buruknya hasil persentuhan Islam dengan dengan sains kontemporer beberapa dasawarsa terakhir, merupakan pendorong yang cukup andil bagi munculnya berbagai penataran negatif Islam.
Bayang-bayang kekerasan yang dinisbatkan kepada Islam dewasa ini semakin mendapat landasan empiris ketika berbagai tindakan berdarah yang dilakukan oleh segelintir umat Islam fundamentalis cukup menjadi alasan untuk mencitrakan Islam sebagai agama teroris, anarkis, dan fundamentalis, lebih-lebih ketika terjadi tragedi pemboman gedung WTC di Amerika beberapa tahun yang lalu. Parahnya lagi, citra-citra negatif Islam tersebut senantiasa mendapat dukungan dari para ilmuan dan cendikiawan barat yang juga disambut hangat oleh media cetak dan pers. Berbagai pelecehan yang memojokkan Islam semakin menjadi-jadi di dunia barat seperti gambar karikatur Nabi Muhammad yang dimuat di media cetak Denmark hingga menimbulkan protes besar-besaran dari kalangan umat Islam.
Tak dapat dipungkiri, klise antara Barat dengan Islam yang telah terjadi sejak beratus-ratus tahun yang lalu menjadikan permusuhan abadi bagi kedua belah pihak. Meski perang salib telah usai dan Eropa mulai menempati babak baru dalam kehidupannya dengan menguasai ilmu pengetahuan, meninggalkan abad pertengahan yang penuh kegelapan dan memasuki Era pencerahan (Renaissance), dunia Barat terus menerus berusaha untuk menekan Islam secara luas. Benturan kedua peradaban dengan dengan menjadikan agama sebagai pemicu permasalahan konflik sebenarnya bukan menjadi alasan yang logis. Sejak dahulu sampai sekarang menjadi yang memicu dan menghasilkan konflik berkepanjangan adalah politik, ekonomi dan sosial. Ironis memang, ketika agama dibawa-bawa dalam pemusuhan politik yang mendasar, berakhir dengan menghasilkan citra negatif terhadap lawan masing-masing.
Membangun kembali citra Islam bukan menjadi hal yang mudah karena secara praktis usaha merekonstruksi akan sangat menyita waktu dan pikiran pada penggalian panjang terhadap landasan epistemis keilmuan Islam. Terutama untuk mengikis normavitas Islam dari Historistasnya.
Gambaran suram Islam yang selalu didengungkan oleh dunia Barat dengan mengikat label “Islam Fobia” (Ketakutan terhadap Islam) semakin menyudutkan umat Islam. Citra Islam juga tidak didominasi oleh pola hubungan konflik, citra Islam muncul dalam beberapa pola hubungan Islam dan sains.
Citra Islam sebagai ajaran yang tidak logis secara ilmiah mendapat basis yang cukup kuat ketika normavitas agama dihadapkan pada berbagai teori dan temuan sains kontemporer; hingga mengentalkan pencitraan agama sebagai lawan saintisme dan lawan keilmiahan. Citra negatif tersebut semakin menguat ketika secara internal, pemikiran Islam dengan berbagai ilmu-ilmu agama yang dihasilkan tidak lagi memadai sebagai pendekatan pemahaman keagamaan yan responsif terhadap zaman, karena ketidak mampuannya lepas dari logosentrisme abad tengah yang terkristal dalam bentuk kejumudan ataupun taqhid. Oleh karena itu, perlu rekonstruksi pemikiran Islam yang sekaligus diarahkan sebagai jalan untuk membangun kembali citra Islam. Dalam kata lain, citra Islam sebenarnya hanya dapat dihapus dengan perubahan tradisi umat Islam. Secara nyata dari tradisi Islam yang terkungkung pada logosentrisme dan tradisi abad tengah yang menganggap keilmuan Islam sebagai sakral, kepada tradisi Islam yang terbuka dan mau mengkritik diri untuk mengadakan rekonstruksi terhadap bangunan pemikiran/ ilmu agama. Dan yang pasti hanya dengan tindakan nyatalah citra Islam dapat dihapus, sedangkan usaha-usaha merekonstruksi terhadap bangunan pendekatan studi Islam hanya diarahkan untuk memberikan jalan bagi pencaman makna dan wajah dimensional Islam yang hakiki.
Islam adalah agama yang cinta damai, Islam adalah agama mawaddah wa rahmah, rahmatan li al-alamin, serta hudan li al-nas, mendasari bangunan citra Islam dengan mengembalikannya kepada ajaran murni Islam yang termuat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi menjadi hal yang mutlak yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam diseluruh dunia.

[+/-] Selengkapnya...

My Future ©Template Blogger Green by Dicas Blogger.

TOPO